Memacu kendaraan roda dua yang
disebut motor. Melintasi jalanan yang entah sudah berapa kali aku lintasi. Jalan
yang tak berujung. Hanya untuk mencari secarik harapan. Dibawah naungan
sang malam yang sedang asik duduk di singgasananya, menciptakan tanya dalam benakku, apakah ia sedang menertawakan
“kebodohanku” ataukah ia sedang “mengagumi” sedikit usahaku. Aku berhenti
sejenak. Menghilangkan sedikit dahaga “Vega” yang menemaniku malam ini.
Mataku
tak berhenti mencari di setiap sudut-sudut jalan, sebuah benda yang terjatuh.
Sempat terlintas dalam benakku “Apakah benda itu sangat berharga ? hingga mampu
membuatku menyisihkan waktu yang mungkin akan aku sia- siakan dalam lamunan
kekosongan. Yang mampu membuatku keluar dari kotak kenyamanan ku. Membuatku mempertaruhkan harapan kosong diatas sebuah meja judi kehidupan.
Muriidan atau Maha Berkehendak,
salah satu dari 99 asmaul husna yang terukir rapi diatas secarik kertas
Ariston. Benda itulah yang aku cari. Aku sisihkan semua dingin yang mencoba
menusuk kulit. Sunyi dan sepi terkadang hanya menyapa ramah. Membuatku berontak
dan mengabaikan semua aturan -aturan jalanan. Hanya pada malam ini. Nyanyian malam tercipta dari
mereka yang ku anggap memiliki pemikiran yang sama. Dan sering
disebut pengganggu jalanan.
Bermodal sebuah kompas keyakinan,
menuntun jalanku kepada ketidak tauan. Hanya mengais sisa harapan yang mungkin masih berceceran. Namun dewi fortuna tak bersamaku malam ini. Aku tersesat di jalan
kembali. Membuatku mengibarkan bendera putih dan
berkata “Menyerahlah”. Seharusnya kata
itu tak aku inginkan untuk muncul kali ini. Tapi tak ada salahnya ku coba. Untuk
menghapus jejak harapan hampa yang masih membekas dalam fikir. Dan untuk membawaku
terlelap dalam duniaku kembali.
0 komentar:
Posting Komentar